Laman

Laman

Laman

Laman

Kamis, 04 Juni 2015

Karnaval dan Pentas Budaya Nias “Mahakarya Ono Niha” di Malioboro, Yogyakarta


Masyarakat Nias di DIY dan Jawa Tengah baru saja mementaskan seni budaya nias bertajuk “Mahakarya Ono Niha” pada tanggal 31 Mei 2015 bertempat di Monumen Serangan Umum Sebelas Maret, Jalan Malioboro – Yogyakarta. Helatan budaya ini merupakan kegiatan hari kedua setelah hari sebelumnya melaksanakan seminar nasional tentang potensi kelautan di Kepulauan Nias. Acara yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi Masyarakat Nias (FKMN) DIY dan Jateng ini disaksikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Anies Baswedan, tokoh masyarakat Nias; Firman Jaya Daeli, perwakilan Pemerintahan Daerah di Kepulauan Nias, perwakilan Pemerintahan Daerah DIY, masyarakat Nias di DIY dan Jawa Tengah dan berbagai lapisan masyarakat yang memadati Jalan Malioboro dan sekitarnya. Diawali dengan karnaval budaya di sepanjang Jalan Malioboro, tampilan atraksi dan atribut budaya Nias menarik perhatian masyarakat sekitar. Beberapa pengunjung malioboro pun berdesak-desakan mengamati karnaval yang dilaksanakan bersamaan dengan Pawai Jambore Silat Nusantara dan tidak sedikit yang mengabadikan dengan foto dan video. Dalam karnaval ini, ditampilkan pakaian adat Nias dan atribut lainnya dengan paduan warna khas merah, kuning, dan hitam. Selain itu dipentaskan juga prosesi pernikahan dalam adat Nias dimana sang pengantin perempuan ditandu menuju kediaman pengantin pria sebagai simbol bahwa ia telah sah menjadi bagian dari keluarga suaminya. Di akhir karnaval, Bapak Menteri Anies Baswedan berkenan memberi sambutan disusul pementasan tradisi Hombo Batu (Lompat Batu) yang membuat suasana cukup menegangkan sekaligus meriah dan penuh semangat. Acara kemudian dilanjutkan dengan pentas budaya di Monumen Serangan Umum Sebelas Maret yang berlokasi di ujung Jalan Malioboro. Sebagai pembuka, ditampilkan Tari Moyo Falaga, kemudian disusul tarian penyambutan yang lazim dipentaskan dalam berbagai acara, seperti Tari Ya’ahowu (Nias Selatan dan Gunungsitoli) dan Tari Fame’e Afo (pemberian sirih kepada tamu) . Kepulauan Nias memang memiliki tradisi penyambutan tamu dengan berbagai tarian sebagai tanda penghormatan. Gerakan para penari yang lemah gemulai dan pemberian sirih kepada para tamu, menggambarkan kelembutan dan keramahan masyarakat Nias kepada para pendatang. Tarian lainnya yang ditampilkan adalah Tari Moyo (Elang), Tari Faritia Halu, Tari Famadögö Omo, Tari Baluse, dan Tari Tuwu. Tari Moyo mengisahkan seekor elang sedang memburu anak ayam sebagai mangsa. Induk ayam kemudian berusaha melindungi anaknya dari terkaman elang. Interaksi elang dan induk ayam inilah yang meginspirasi Tari Moyo, dimana setiap gerakannya digambarkan dengan lemah gemulai oleh para penari. Tari Faritia Halu sekilas mirip Tari Saureka-reka dari Maluku. Konon tarian ini menggambarkan ucapan syukur masyarakat Nias yang telah berhasil panen hasil ladang. Tarian ini menggunakan media alat penumbuk padi (halu) yang disusun dan dihentak-hentakan sehingga menghasilkan irama. Para penari melewati susunan halu dengan tempo tertentu. Tari Famadögö Omo merupakan tarian dengan gerakan menghentak-hentak yang dilakuan oleh para penari pria. Maksud dari gerakan menghentak ini adalah untuk menguji kekuatan rumah yang baru dibangun. Konon beginilah cara nenek moyang masyarakat Nias untuk memastikan kekuatan struktur rumah adat yang akan ditinggali. Tari Baluse atau Tari perang juga dibawakan oleh penari pria. Sesuai namanya tarian ini berkisah tentang nenek moyang masyarakat Nias yang sering berperang melawan emali (pencuri) ataupun suku lain. Setiap personil dalam Tari Baluse berpakaian layaknya prajurit perang, lengkap dengan baluse (sebagai perisai), tombak, dan pedang. Menariknya, di tengah pertunjukkan diperagakan duel satu lawan satu layaknya pertarungan kesatria zaman dulu. Tari Tuwu melambangkan bagaimana seorang permaisuri memberikan dukungan kepada suaminya sang Balugu (pemimpin adat) yang sedang memimpin rakyat untuk mengangkat batu besar secara bergotong royong. Betapa pun berat batunya, bila ada kebersamaan dan kekompakan maka akan terasa ringan (prinsip kerjasama) Puncak pertunjukkan pada Hari Minggu malam tersebut adalah atraksi Hombo Batu yang kembali ditampilkan. Masyarakat pun semakin banyak yang masuk ke tribun penonton untuk mengobati penasaran menyaksikan lebih dekat atraksi budaya yang kesohor itu. Pada lompatan pertama keempat pelompat berhasil melompati batu dengan baik, namun pada lompatan kedua, salah seorang pelompat gagal sehingga pertunjukkan sempat terhenti sejenak untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Untungnya kegagalan tersebut berhasil dibayar lunas oleh pelompat lainnya yang berhasil melompat dengan baik bahkan dengan menambah tinggi rintangan (salah seorang personil berbaring di atas batu lompatan) Di akhir acara, seluruh performer yang mayoritas mahasiswa Nias di Yogyakarta berbaur dengan para penonton dengan berbagai latar belakang untuk ber-maena bersama. Sebuah tarian massal khas Nias yang melambangkan keakraban dan kebersamaan. YA’AHOWU! *YA’AHOWU adalah salam dalam bahasa daerah Nias yang sering diucapkan ketika bertemu satu sama lain, memiliki arti luas, namun dapat diartikan “Semoga Diberkati” sumber: kompasiana/ cove zebuachor="1" >

Tidak ada komentar:

Posting Komentar